
Tabloidpengusaha.com – Harga Bitcoin telah menurun akhir-akhir ini, jatuh di bawah USD 40.000 tepatnya di kisaran tepatnya di kisaran USD 39.000 atau sekitar Rp 560,3 juta. Penurunan ini menjadi yang terendah untuk Bitcoin sejak 3 minggu terakhir.
Di tengah penurunan harga yang terjadi pada Bitcoin, para investor sampai saat ini masih memantau dengan cermat lanskap geopolitik yang sangat tidak pasti.
Cryptocurrency mengalami fluktuasi ini pada saat banyak investor dan konsumen khawatir tentang lonjakan harga. Ukuran inflasi tradisional telah mencapai level tertinggi selama beberapa dekade di AS dan Inggris.
Selanjutnya, ada kekhawatiran tentang perlambatan pertumbuhan ekonomi AS, karena think tank The Conference Board baru-baru ini memperkirakan PDB yang disesuaikan dengan inflasi akan meningkat pada tingkat tahunan sebesar 1,7 persen selama kuartal pertama, penurunan tajam dari 7 persen selama kuartal sebelumnya.
Tantangan gabungan dari inflasi yang tinggi dan ekspektasi pertumbuhan yang lesu ini telah terwujud pada saat pembuat kebijakan Federal Reserve memperkirakan untuk melanjutkan pengetatan stimulus moneter, suatu perkembangan yang berpotensi memberikan hambatan bagi kondisi ekonomi dan harga aset global.
Beberapa analis mempertimbangkan perkembangan ini, termasuk kepala penelitian di broker utama aset digital dan bursa Bequant, Martha Reyes.
“Aset digital ditarik kembali karena kami mencapai inflasi puncak dan kekhawatiran kenaikan suku bunga sementara pertumbuhan diperkirakan akan melambat,” katanya, dikutip dari Forbes, Selasa (12/4/2022).
“Data inflasi keluar minggu ini tetapi itu adalah lagging, bukan indikator utama. Perhatian utama kami saat ini adalah pertumbuhan yang akan terus merugikan aset berisiko seperti kripto,” lanjut Reyes.
Reyes menekankan terlepas dari tantangan ekonomi makro ini, adopsi kripto terus berlanjut, dan beberapa perkembangan dapat membantu mempercepat peningkatan penggunaan kripto.
“Kripto terus berkembang sebagaimana dibuktikan oleh integrasi pembayaran yang lebih luas. Peraturan masih dapat menjadi katalis,” ujar Rayes.
“Jika inflasi terus berlanjut, maka negara-negara berkembang akan lebih merangkul kripto,” pungkasnya.