June 2, 2023

Tabloidpengusaha.com – Di awal tahun 2023 publik seolah dihebohkan dengan kasus eksploitasi orang tua berkaitan dengan konten mandi lumpur di salah satu media sosial, Tiktok. Tidak cukup sampai di sana, kegiatan ini kemudian direspons oleh salah seorang pengusaha yang juga aktif di media sosial tersebut yang konon menawarkan pekerjaan kepada pembuat konten agar berhenti membuat konten yang dapat membahayakan kesehatan orang tuanya.

Bak pahlawan, pengusaha tersebut kemudian mendapat sambutan dari berbagai kalangan dengan jiwa sosialnya yang tinggi dan usahanya dalam mengubah pola pikir masyarakat, sekalipun pada akhirnya “niat baik” itu tidak mendapatkan respons baik dari yang bersangkutan (pembuat konten).

Aksi heroik yang dilakukan pengusaha tersebut pada akhirnya tidak hanya sekadar berakhir dengan diundang ke salah satu stasiun TV. Aksi itu justru memantik beberapa permasalahan yang sejauh ini tidak berkaitan dengan kegiatan “mengemis” di media sosial. Yakni, memunculkan permasalahan-permasalahan yang konon belum terselesaikan, yang berasal dari mantan karyawan dari sang pengusaha tersebut.

Banyak yang mencoba speak up terkait hak-hak beberapa mantan karyawan dari pengusaha yang juga konten kreator tersebut yang konon hingga tulisan ini dibuat belum terselesaikan. Cuitan-cuitan di media sosial tersebut kemudian mendapat dua respons yang berbeda. Banyak yang mendukung pihak mantan karyawan yang mencoba menuangkan unek-unek selama bekerja menjadi karyawan dari pengusaha tersebut, sekaligus menuntut hak mereka. Dan, tidak sedikit pula yang membela pengusaha tersebut dengan dalih, wajar apabila seorang “bos” berhak membuat aturan masing-masing atas karyawannya.

Perdebatan
Perdebatan antara kedua sisi ini nyatanya akan selalu bermunculan di media sosial, seiring dengan makin banyaknya anak-anak muda yang mencoba speak up terkait dengan kondisi lingkungan tempat kerjanya dahulu. Banyak yang akan membela karyawan, namun tidak sedikit yang akan mati-matian membela pengusaha.

Kasus yang sama juga akan kita temukan di tautan yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Banyak yang mengkritik, namun tidak sedikit yang membela. Beberapa orang berburuk sangka dengan mengatakan mereka yang membela adalah buzzer pemerintah. Tidak ada salahnya berpikir demikian, namun dari sekian banyak yang membela, terselip beberapa pengusaha yang konon setuju dengan hasil kerja keras anggota legislatif kita ini.

Dari tajuknya saja kita dapat melihat bahwa peraturan ini memang ditujukan untuk mendukung gerakan-gerakan entrepreneurship yang memang sedang menjamur pada sepuluh tahun belakangan. Gerakan yang semakin besar dengan adanya seminar-seminar dari motivator-motivator ulung dan juga kegiatan-kegiatan lomba dengan hadiah berubah hibah dana dengan nominal yang tidak sedikit nilainya.

Entrepreneurship seakan menjadi konsep visioner yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Namun, gerakan ini nyatanya tidak seindah yang digaungkan oleh pihak-pihak penguasa. Ada banyak problem yang kemudian muncul dari pihak oknum entrepreneur yang problematik ini.

Seiring berjalannya waktu, gerakan ini kemudian memiliki tandingan yang tidak kalah hebohnya, yang muncul dari pergerakan akar rumput anak-anak muda yang hidupnya konon telah teralienasi oleh hiruk pikuk ibu kota. Gerakan tersebut mengusung tajuk “Budak Korporat” sebagai konsep yang menyatukan para buruh muda yang kehidupannya tergerus oleh padatnya jadwal bekerja di perusahaan sang entrepreneur.

Beberapa dari mereka ada yang hanya sekadar membagikan slip gaji dan nota pembayaran di Starbucks, tapi tidak sedikit yang mencoba menceritakan keluh kesahnya selama bekerja di perusahaan sang entrepreneur. Apa yang terjadi di awal tahun ini hanya satu dari sekian banyak curahan hati yang coba disalurkan oleh para budak korporat.

Setiap kali ada curahan hati budak korporat yang muncul di media sosial, akan selalu ada oknum entrepreneur yang muncul menjadi antagonis di cuitan tersebut. Tidak jarang ada yang menghakimi sang budak korporat sebagai sosok yang pemalas, manja, atau bahkan memiliki mental yang lembek. Terdengar familier bagi mereka yang baru saja menyelesaikan kegiatan orientasi di kampus.

Hal ini wajar saja mengingat beberapa oknum entrepreneur tersebut konon memang memiliki usia dan pengalaman yang lebih jika dibandingkan si pembuat cuitan. Tapi, tidak sedikit pula yang hanya “anak kemarin sore” dan baru memulai usahanya sekitar beberapa minggu atau beberapa bulan yang lalu. Anak-anak muda ini tidak lupa melontarkan kalimat pamungkasnya, yakni “kalau tidak mau diatur, ya jadi pengusaha.”

Kalimat tersebut kemudian menegaskan relasi kurang sehat yang terjadi di korporat-korporat kita dewasa ini; hubungan yang hanya sebatas antara yang mengatur dan yang diatur. Kalau hubungannya hanya seperti itu, tentu entrepreneurship bukanlah hal yang visioner. Karl Marx sudah sejak hampir dua abad yang lalu mengungkapkan relasi kurang sehat ini. Entrepreneur yang kemudian dikenal dengan sebutan “borjuis” dan budak korporat yang dikenal dengan sebutan “proletarian” atau “proletar”.

Terlepas dari pemikiran bahwa akan ada gerakan revolusi yang diprediksi akan dilakukan oleh budak korporat yang melawan, nyatanya Karl Marx dalam hal ini cenderung lebih visioner ketimbang para pengusung gerakan-gerakan entrepreneurship yang berfokus pada bagaimana membangun bisnis yang mampu menyelesaikan permasalahan masyarakat, namun lupa dengan bagaimana menyelesaikan masalah internal perusahaan.

Lebih Visioner

Jika berkaca pada sejarah, nyatanya para founding father kita justru lebih visioner jika dibandingkan Karl Marx, apalagi jika dibandingkan dengan para oknum motivator entrepreneur tersebut. Pemikiran mereka jauh ke depan dalam memperhatikan relasi antara pemerintah, pengusaha, dan para pekerja dalam menjalankan roda ekonomi. Hal ini yang kemudian mendasari mereka menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa, dan bukan gerakan 1000 start up, 1000 UMKM, dan gerakan-gerakan entrepreneurship lainnya.

Koperasi tidak mengenal istilah pengatur, karena aturan pada akhirnya merupakan kesepakatan bersama antarpara budak koperasi yang sekaligus sebagai pemilik dari koperasi. Hal ini yang kemudian menjadi rapat anggota sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi pada sistem perusahaan ini. Sayangnya hingga tulisan ini dimuat, konsep ini seakan dianggap ketinggalan zaman jika dibandingkan gerakan-gerakan yang konon terhempas gelombang Covid-19 dan PPKM beberapa waktu yang lalu.

Akhir kata, perdebatan antara budak korporat dan pengusaha nyatanya akan selalu ada seiring dengan relasi pengatur dan yang diatur semakin menguat. Perdebatan tersebut akan semakin sengit jika para pegawai lepas (freelance), pegawai negeri sipil, dan abdi negara masuk ke dalamnya. Akan ada banyak cerita yang membanggakan profesinya masing-masing dan mencoba menjelekkan salah satu profesi.

Pada akhirnya akan selalu ada yang mengatur dan yang diatur. Hanya saja perlu menjadi perhatian bahwa relasi bukan menjadi yang paling ditonjolkan atau bahkan satu-satunya pada suatu institusi, tidak hanya perusahaan, namun juga institusi besar seperti negara. Makna “keluarga” pada perusahaan nyatanya harus mulai diimplementasikan dengan baik, sehingga suatu perusahaan tidak menjadi keluarga toxic yang hanya menguras mental para anggota keluarga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *