September 27, 2023

Jakarta (tabloidpengusaha.com) – Di pinggir jalan Otista Raya, Jakarta Timur, terletak sebuah warteg milik Tarsih Irdayanti dan suaminya.Warteg itu menjual beraneka ragam makanan, mulai dari sayur kangkung, tempe orek, ikan bakar dan lainnya.

Seperti warteg yang merupakan singkatan dari warung Tegal, Tarsih sendiri merupakan warga asli Kota Tegal, Jawa Tengah. Ia sudah tinggal dan mengelola warteg di Jakarta selama hampir 20 tahun.

Namun, ia sendiri sudah mulai membantu orang tuanya melayani para konsumen lapar di warteg mereka di Jakarta sejak ia duduk di bangku kelas empat SD.

“Saya belajar nyentong nasi dan melayani itu dari SD kelas 4. Setiap kali liburna saya dibawa ke Jakarta. Waktu itu di daerah Budi Luhur, di daerah petukangan selatan itu,” ungkap Tarsih yang kini berusia 48 tahun.

Ia masih ingat betul pengalamannya berbelanja di pasar pagi-pagi seorang diri saat ia SMA. Para penjual langsung meneriakinya dengan penuh semangat, menawarkan berbagai barang jualan mereka, mulai dari tahu hingga unggas.

tahu hingga unggas.

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi
Investigasi: Skandal Adopsi
Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Tarsih mengatakan inflasi yang kini tak bisa diprediksi semakin ‘mencekik‘ para pengusaha warteg. Bahkan, BBC News Indonesia menemukan rata-rata harga lauk warteg naik hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan 10 tahun lalu.

Ia menyaksikan langsung dampaknya, ketika dulu pengusaha warteg bisa mendapatkan untung paling tidak 40% dari hasil penjualan, kini pendapatan menjadi 20%. Itu pun jika sang pemilik sedang beruntung.

“Saya kerja dengan suami saya di warung dengan jam kerja warteg dari jam 4 pagi sampai dengan jam 10 malam, itu nggak sebanding dengan tenaga yang keluar.“

Meski begitu, ia mengaku sekitar 80-90% dari keluarga besarnya yang berasal dari Tegal masih giat menekuni usaha warteg.

“Mereka pada buka warteg. Keponakan-keponakan saya, ada yang angkatan darat, ada yang angkatan laut, tapi tetap wartegnya itu enggak ditinggal,” ungkap Tarsih.

Bahkan, seorang kerabatnya yang bernama Mukroni, memutuskan untuk membentuk semacam lembaga yang berisi para pengusaha warteg di Jakarta maupun luar Jakarta.

“Warteg bisa dibilang kaum marginal di Jakarta. Banyak enggak enaknya, istilahnya kita ngeluarin tenaga banyak, capek, kadang-kadang diresek-in, kadang-kadang dijahilin itu sering. Jadi kita itu kayaknya butuh komunitas,” kata Tarsih.

Bermula dari sebuah paguyuban yang berisi keluarga dan tetangga sekampung yang berdiri pada 2004, kini Kowantara sudah bertumbuh menjadi komunitas berbadan hukum dengan 10.000 anggota yang terdaftar.

Walaupun saat ini, sebagian besar anggotanya berada di kawasan Jabodetabek, Tarsih mengatakan para pengurusnya berharap komunitas itu dapat meluas hingga mencakup para pemilik warteg se-Indonesia.

“Cita-citanya pengen ini biar se-nusantara. Jadi teman-teman sudah mulai ada yang dari Surabaya, ada yang orang Jogja, dan ada yang dari Lampung.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *